Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah salat berjamaah hingga jumatan dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Hal tersebut merupakan bagian upaya mengantisipasi meluasnya penyebaran wabah virus corona yang kian masif di tanah air.
Bila ditinjau dari kaidah Ushul Fiqh serta berbagai pola qiyash-nya. Seorang muslim haruslah memiliki modal dasar dalam berislam, dengan begitu hal itu akan memudahkan kita untuk bersikap jembar hati dan pikir pada kemajemukan.
Sementara itu, Bukan hanya khittah kemajemukan pandangan hukum Islam (fiqh) saja, dalam hal diperbolehkan atau tidaknya menjalankan salat Jum’at berjamaah di tengah wabah Corona ini, jauh dari itu adanya sebuah sikap kemajemukan keimanan dan kemanusiaan untuk bersama-sama mencegahnya.
Merujuk pada hadis riwayat Abu Daud, yang menyebut “orang sakit” sebagai uzur syariat untuk dibolehkan tidak menjalankan salat Jumat berjamaah, maka sangat dimungkinkan kini untuk mengambil pemahaman qiyashi yang setimbang, kepada orang yang berisiko terinfeksi virus Corona melalui medium kerumuman jamaah salat Jumat itu.
Tentunya yang tampak cenderung sebagai prioritas hukumnya (‘illat al-hukmi) pada kasus Corona ini bukan lagi soal kewajiban hukum menjalankan shalat Jumat berjamaah itu, melainkan hukum uzur syariatnya akibat adanya ‘llat baru itu. ‘illat al-hukmi baru ini, diterima luas oleh para ulama Ushul Fiqh sejak dahulu kala, dalam artian bisa menjadi sebab bagi lahirnya pemahaman hukum baru.
Bukti-bukti dari kaidah Ushul Fiqh atas kecenderungan prioritas hukum itu, yang bisa ditintakan di sini, di antaranya: dar-ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih, menghindarkan kemadharatan/marabahaya harus lebih diprioritaskan daripada mendulang kebaikan.
Bisa juga ditambahkan: al-dharurat tubihu al-mahdhurat, suatu kondisi darurat membolehkan bagi diambilnya langkah/sikap yang mengatasi unsur-unsur kedaruratan itu. Sebutlah, tidak sesuai dengan aturan dalam kondisi normalnya. Bisa tambahkan lagi: idza ta’aradha mafsadah wa mashlahah qaddama daf’un, jika bertemu antara potensi keburukan dan kebaikan, maka dahulukanlah menolak keburukan itu.
Ada satu kaidah Ushul Fiqh yang begitu tajam menghunjam pada kasus sejenis Corona, yang notabene mutlak risiko madharatnya. Di nukilkan dari kitab Al-Fawaid al-Janiyah fi Nadmi al-Qawaid al-Fiqhiyah karya Syekh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani (beliau keturunan Padang, salah satu guru besar terkemuka di Mekkah).
Idza ta’aradha al-‘urfu wa al-syar’u qaddama al-‘urfu in lam yata’allaq bi al-syar’i hukmun, jika bertemu antara suatu kondisi tertentu (khas, lokal) dengan suatu syara’ maka hendaknya dahulukan aspek suatu kondisi tertentu tersebut, sepanjang belum ada hukum yang terkait dengan suatu syara’ tersebut. Ini salah satu landasan metodis atas ungkapan di atas bahwa suatu ‘illat memungkinkan bagi terjadinya perubahan bentuk suatu hukum.
Dapat dianalisiskan begini, shalat Jumat berjamaah jelas merupakan kewajiban syara’. Ketika kewajiban hukum ini bertemu dengan suatu kondisi khusus lokal dan khas macam ancaman Corona, bagaimana hukumnya? Tidak ada hukum pasti yang menerangkan status hukum Corona ini.
Ketiadaan hukum pasti ini secara syara’, telah memenuhi prinsip lam yata’allaq bi al-syar’i hukmun, sehingga masuk akal untuk dikatakan qaddama al-urfu. Atas dasar analisis kaidah tersebut, adanya konteks ancaman Corona sebagai kondisi ‘urf, kini boleh dibenarkan untuk didahulukan sebagai pilihan dalil aqli bagi mereka yang memilih meninggalkan shalat Jumat berjamaah.
Kesimpulan, hal ini tidak bisa dikatakan melanggar syariat kewajiban shalat Jumat berjamaah, justru inilah ruang takwil fiqh yang dibuka luas oleh kerahmatan Islam, melalui ketidaktersediaan penjelasan detail oleh Rasulullah SAW langsung. (E4)
Dikutip dari artikel Majlis Ta’lim Miftahus Syifa, Deliserdang