Pacaran dan pernikahan itu dua hal yang berbeda, meskipun telah menjalin hubungan dengan orang yang sama hingga bertahun lamanya. Bukan jaminan pula dapat saling menyatu. Tidak heran jika ada hal yang belum ditemukan saat pacaran, akan diketahui justru setelah pernikahan.
“Pacaran lama itu sebenarnya jadi kesempatan untuk masing-masing pasangan mengenal satu sama lain. Tapi apakah itu jaminan seseorang membuka diri atas kekurangan pasangannya, kan tidak,” ujar psikolog Ajeng Raviando dikutip dari laman Suara.com. Jumat (28/2).
Pernikahan sejatinya sebuah ikatan suci yang sakral. Babak baru perjalanan panjang mengarungi dinamika rumah tangga. Kunci dalam pernikahan yang langgeng adalah mampu menerima kekurangan satu sama lain. Kebaikan pasangan hanyalah sebuah bonus yang sebaiknya tidak dijadikan prioritas untuk memutuskan menikah dengan seseorang.
“Orangnya baik, ibadah oke. Tapi apakah kita sudah mampu menerima kekurangan pasangan kita. Karena itu yang akan kita hadapi setiap hari. Sudahkah kita mampu menerima kekurangan pasangan kita, jadikan itu sebagai pertimbangan untuk menikahi seseorang,” ungkap Ajeng.
Bunga Mega, pendiri Komunitas CeweQuat mengatakan, menyepakati untuk siap menikah bukan hanya pada persoalan dana saja, namun lebih pada kesiapan kematangan berfikir, psikologis dan ilmu untuk mengarungi bahtera rumah tangga.
Pacaran bukan jaminan pernikahan langgeng. Ada kok 9 tahun pacaran tapi menikahnya cuman setahun. Karena saat pacaran tidak dijadikan kesempatan untuk mengenal pasangan hingga detil. Seperti ketika sudah menikah mau punya anak kapan, kalau nggak bisa punya anak bagaimana responnya. Jangan tanya pernikahan yang indah-indahnya saja.
“Mending broken heart sekarang daripada broken home yang nantinya bisa mempengaruhi anak juga. Kalau pacaran lama nggak cocok, ya sudah walk out, jangan dipaksakan,” ujar Bunga. (E4)