Pewarta foto lepas, Sutanta Aditya dan fotografer sekaligus penulis buku Regina Safri, membagikan teknik memotret di alam bebas, Minggu (20/10) dalam kegiatan diskusi fotografi dan bedah buku ‘Before Too Late’ di Consina Store Gatsu Jalan Gatot Subroto, Medan.
Kegiatan yang diikuti lebih dari 120 peserta dari pewarta foto, fotografer, pecinta alam, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan mahasiswa berlangsung ceria dalam kawalan Fotografer Harian Analisa, Ferdy Siregar sebagai moderator dan Youtuber Wak Kombur sebagai master of ceremony (MC).
Fotografi alam lepas (wild photography) bukan sekadar hasrat menangkap momen dan keindahan alam beserta keanekaragaman flora dan fauna di dalamnya, namun melalui itu, fotografer juga dapat berpartisipasi dalam kampanye pelestarian lingkungan.
“Konservasi hutan khususnya Sumatera dan Kalimantan berdampak pada penduduk setempat, termasuk primata yang dilindungi seperti orangutan,” ucap Aditya mengawali diskusi fotografi yang dimulai pukul 15.00 WIB ini.
Pria yang akrab disapa Adit itu mengatakan minimnya populasi orangutan saat ini karena maraknya eksplorasi perusahaan yang didominasi oleh perkebunan dan pertambangan.
Pemenang Grand Prize the Shoot for Sustainability Photo Competition by National Geographic Asia and Temasek ini memberikan tips agar sebelum melakukan tugas fotografi, fotografer sebaiknya terlebih dahulu melakukan riset.
“Untuk mengetahui kerusakan alam yang terjadi di suatu wilayah, kita bisa memanfaatkan satelit NASA. Dengan satelit ini, saya bisa mengetahui kerusakan lahan dan situasi terkini, sehingga tema yang didapat lebih terarah dan spesifik,” katanya.
Adit menambahkan bahwa memanfaatkan aplikasi juga sebagai salah satu upaya untuk mengetahui musim di lokasi yang dituju bagi pekerja alam bebas, khususnya untuk mengantisipasi gear atau alat apa saja yang dibutuhkan saat memotret di musim hujan.
Hal menarik lainnya diungkapkan oleh Regina, fotografer perempuan yang akrab disapa Rere. Menjawab pertanyaan seorang mahasiswa, terkait pendekatan ke suku pedalaman serta memotret alam bebas, itu dikatakannya tidak jauh berbeda dengan orang yang sedang jatuh cinta.
“Pendekatannya seperti orang berpacaran, bisa cepat bisa lambat. Intinya kita harus tekun dan sabar, sampai tujuan kita tercapai,” ujarnya.
Rahmat Suryadi Ketua Pewarta Foto Indonesia (PFI) Medan menambahkan bahwa fotografi alam bebas tidak semua orang bisa melakukannya. Ini membutuhkan tekad sekuat baja bagi fotografer untuk melewati segala rintangan di alam bebas yang tidak terprediksi.
“Sebuah kebanggaan bahwa kita PFI memiliki beberapa fotografer handal memotret di alam bebas seperti Aditya dan Regina. Selain itu acara hari ini juga sangat antusias terbukti peserta yang hadir cukup banyak serta sesi tanya jawab mengalir antara narasumber dan peserta. Ini membuktikan bahwa fotografi alam bebas cukup banyak peminatnya,” ujarnya.
Kegiatan yang diprakarsai PFI Medan dan Consina Store Gatsu itu memberikan souvernir ramah lingkungan seperti pipet non plastik, tas outdoors Consina, topi dan aneka merchandise menarik lain. Acara ini juga dihadiri oleh Bambang Saswanda Komunikasi Fasilitator TFCA Sumatera , Kepala Bagian Tata Usaha BBKSDA Sumut, penggiat fotografi dan aktivis lingkungan. Telaksananya kegiatan ini tidak lepas dari partisipasi Inalum dan PT Coca Cola Amatil Indonesia. (Rel)